Banyak orang berbicara, 2014 merupakan tahun politik. Tahun yang sangat menentukan arah atau langkah Indonesia ke depan. Pemilihan anggota legislatif (pileg) dan presiden (pilpres) menjadi petandanya. Berbagai harapan tertumpah di tahun tersebut. Inilah fenomena politik lima tahunan yang selalu harus dihadapi sebagai bagian dari proses demokrasi.Sudah bukan barang asing lagi, menjelang pemilihan umum (pemilu) merupakan masa terjadinya inflasi harapan.Pemilu mendapatkan tempat tersendiri, bahkan disakralkan. Sakralisasi tersebut bisa dilihat dari gempita politik.melalui beragam kampanye berbagai pihak yang berkepentingan di dalamnya. Semua sumber daya “dipaksakan” untuk memotretnya dari segala sisi.
Tak pelak lagi, pemilu akhirnya menjadi mantra yang mampu mengalihkan semua perhatian masyarakat. Beragam persoalan pun bermunculan menjelang pemilu. Pertama, Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang dinilai kacau, pasangan capres-cawapres terpopuler, sampai nomor urut caleg merupakan contoh keriuhan menjelang pemilu. Persoalan bangsa yang lebih substansial dan jadi perdebatan sebelumnya “di-peti es-kan”. Alhasil, beragam masalah substansi tersebut akhirnya tercecer dan tak tuntas penyelesaiannya.
Pembahasan permasalahan substansial tersebut akhirnya tak mendapatkan panggung untuk diperdebatkan kembali. Fenomena sosial-politik menjelang pemilu ini menegaskan kembali tesis Ben Anderson mengenai perpolitikan nasional. Bagi Anderson (1990), politik di Indonesia bak panggung teater yang penuh dramaturgi. Pemunculan aktor, pelakonan, kesadaran panggung, bahkan permainan bahasa silih-berganti mengisi ruang pengetahuan masyarakat tanpa henti. Sayangnya, “pertunjukan” tersebut tak bertahan lama. Bubar tanpa meninggalkan kesan begitu pertunjukan selesai. Dalam perspektif Baudrillard, hal ini sekedar meninggalkan simulasi yang miskin substansi (impulsion).
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang diduga merugikan keuangan negara ratusan triliun rupiah menguap begitu saja. Dugaan pelanggaran HAM yang berat atas penculikan aktivis 1997/1998 dan peristiwa 1965/1966 tak jadi perhatian. Bahkan, ganti rugi akibat luapan lumpur Lapindo di Sidoarjo yang menenggelamkan beberapa desa hanya jadi isu sampingan. Semua permasalahan masa lalu tersebut baru ramai dibicarakan ketika hendak dijadikan senjata untuk hancurkan lawan politik. Bukan dalam kerangka penuntasan masalah yang sesungguhnya. Kiprah Partai Politik (parpol) dalam panggung pemilu bukanlah persoalan yang muncul secara alami (given).
Pemahaman tentang pemilu yang sering disebut sebagai pesta politik (demokrasi) perlu diubah. Pemilu bukanlah sekedar pesta. Pemilu merupakan sarana artikulasi politik warga negara dalam skala luas. Parpol dalam hal ini memegang peran penting karena institusi ini dipercaya sebagai instrumen penyaluran ide-ide politik dan kenegaraan. Namun, perubahan secara fundamental perlu dilakukan terhadapnya, terutama terkait fungsi parpol yang selama ini bisa dikatakan tak berjalan.
Tak Ada Tahun Politik
Adanya istilah tahun politik menjelang pelaksanaan pemilu pada dasarnya memunyai konsekuensi tersendiri. Istilah ini menegaskan adanya bukan tahun politik. Penggunaan logika biner dalam hal ini menegaskan adanya “ke-liyan-an” pada tahun selain menjelang pemilu sehingga keberadaannya termarjinalkan. Bukan sesuatu yang layak dipikirkan dan dianggap penting.
Pendapat umum tentang adanya tahun politik dan “biasa” secara otomatis melahirkan logika biner. Aktivitas politik dipusatkan hanya pada tahun pelaksanaan pemilu meskipun pada hakikatnya manusia itu mahkluk yang berpolitik (zoo politicon). Aktivitas politik pada dasarnya tak bisa lepas dari kehidupan manusia, tanpa mengenal istilah waktu tertentu untuk bisa berpolitik. Penggunaan logika biner seperti ini, menurut Foucault, hanya akan menciptakan situasi tunggal yang didalamnya tidak menyediakan alternatif (Beilharz, 2001).
Jika ditilik kembali prinsip-prinsip demokrasi, pelaksanaan pemilu secara periodik merupakan hal lumrah. Dalam sebuah negara demokrasi, penyelenggaran pemilu dalam kurun waktu tertentu merupakan suatu keharusan. Artinya, secara prinsip, penyelenggaraan pemilu bukanlah sesuatu yang spesial. Namun, fakta berkata lain, pemilu menjadi sarana baru bagi kekuasaan untuk mengajak masyarakat “melupakan” persoalan substansial yang ada. Istilah tahun politik menjadi senjata meninggalkan “huru-hara” yang telah maupun sedang terjadi.
Perlu kiranya menilai kembali adanya istilah tahun politik dalam memotret situasi nasional. Penggunaannya dapat memberi legitimasi bagi kekuasaan untuk meninggalkan permasalahan besar bangsa. Pemilu tak perlu disambut dengan hingar-bingar, sewajarnya saja. Menyejajarkan masa menjelang pemilu dengan tahun-tahun lainnya berarti tidak memberi peluang terjadinya amnesia sejarah. Tak ada tahun politik. Adanya hanya periode yang penuh dengan hingar-bingar perebutan kekuasaan.
Russia, 2 Desember 2013
“Tak ada tahun politik. Adanya hanya periode yang penuh dengan hingar-bingar perebutan kekuasaan.“
Tulisan Ini dimuat di buletin PERMIRA(Persatuan Pelajar Indonesia Di russia) ditulish Oleh mahasiswa Russia _Indonesia
0 Komentar