"Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih" itulah yang dirasakan oleh saudara kita di Sumatera terutama di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Belum hilang ingatan kita terhadap Tsunami Aceh tahun 2004, Gempa Bumi 2009 di Sumatera barat, dan juga Gempa di tahun 2010 kini Sumatera khususnya Aceh, Sumatera Barat dan Sumatera Utara kembali tertimpa banjir bandang dan longsor dahsyat. Dampak bencana ini luar biasa, laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat lebih dari 969 orang meninggal dunia. Ratusan orang hilang serta jutaan warga terdampak bahkan kerugian ekonomi di tiga daerah tersebut mencapai Rp.68,67 triliun. Tentu musibah ini mengundang semangat kebersamaan solidaritas dari semua orang. Mulai dari Masyarakat, komunitas, hingga artis atau publik figur turun tangan langsung dan menghimpun bantuan bagi korban. Namun semangat ini Kembali memunculkan polemik yang selama ini terjadi berulang-ulang namun tidak pernah ditanggapi oleh pemerintah yakni masalah aturan penggalangan donasi. Gus Ipul Menteri Sosial menyampaikan bahwa sumbangan harus sesuai dengan aturan. Ada kewajiban untuk melaporkan atas donasi yang dikumpulkan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang sudah berumur lebih 60 tahun ini. Hal ini tentu menjadi perbincangan hangat semua kalangan niat baik terhambat oleh birokrasi usang, tetapi akuntabilitas pun jangan diabaikan. Perlu dan sudah saatnya regulasi lama dilakukan evaluasi sehingga bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Gelombang
Solidaritas di Tengah Bencana
Niat
baik untuk mempercepat proses bantuan ketempat bencana harus menjadi semangat
kebersamaan antara pemerintah, Masyarakat dan juga komunitas lainnya. Tidak ada
salahnya misalnya influencer dan selebriti yang memiliki jangkauan media sosial
ikut menggalang dana dan itu bisa dilakukan dengan cepat. Ferry Irwandi misalnya melalui platform
kitabisa.com berhasil menggumpulkan lenih dari Rp. 10,3 Miliar hanay dalam
waktu 24 jam. Padahal target awalnya hanya Rp.500 juta, tapi semangat
kedermawanan Masyarakat Indonesia luar biasa, ada sekitar 87 ribu donatur yang
terlibat dalam donasi yang di inisiasi oleh Ferry Irwandi. Belum lagi dari
bantuan langsung kantong pribadi Raffu Ahmad dan Nagita yang menyumbang Rp. 15
Miliar dari kantong pribadi. Public figure lainnya seperti Praz teguh, Zaskia
Adya Mecca dan Reza Arap serta lainnya berlomba-lomba dalam menggalang donasi.
Bukan hanya public figur partai politik, Kementerian tertentu bahkan ikut serta
disamping Sudah ada pergerakan dari Lembaga filantropi yang Sudah ada seperti
Baznas, Lazismu dan lain sebagainya.
Fenomena ini tentu menguatkan bahwa World Giving Index (WGI) dari Charities Aid Foundation (CAF) tidak pernah salah menobatkan Indonesia sebagai negara paling dermawan 5 tahun berturut-turut. Ditambah lagi dengan perkembangan teknologi dan dorongan dari public figur di Indonesia yang memiliki kepercayaan tinggi mampu mengumpulkan donasi dengan cepat apalagi adanya situasi dan kondisi seperti bencana ini. Kecepatan para publik figur saat bencana sangat penting dan menjadi pengungit tambahan. Bukan berarrti peran pemerintah diambil alih. Melainkan saling melengkapi. Pemerintah fokus kepada mengatasi dampak bencana yang masif dan Masyarakat, publik figur bisa membantu menyiapkan makanan, obat-obatan, selimut dan juga bahan makanan dalam waktu cepat. Namun, derasnya arus donasi publik ini juga mendatangkan tantangan: bagaimana menjaganya tetap terkoordinasi, transparan, dan tepat sasaran, sembari tidak memadamkan semangat orang untuk membantu?
Regulasi
Penggalangan Dana yang Perlu Dievaluasi
Euforia
solidaritas sedikit terhenti setelah pernyataan Menteri Sosial Saifullah Yusuf
(Gus Ipul) mengingatkan tentang aturan
hukum dala menghimpun donasi secara individu dan Lembaga. Dalam aturan yang
mengacu kepada Undang-Undang Nomor 9 tahun 1961 menyebutkan bahwa menghimpun
dana harus memiliki izin atau meminta izin terlebih dahulu. Aturan ini lebih
lanjut mengatur tentang pengumpulan sumbangan harus mendapatkan izin dari
pejabat berwenang. Izin diberikan berjenjang sesuai cakupan: tingkat
kabupaten/kota oleh bupati/wali kota, lintas kabupaten dalam provinsi oleh
gubernur, dan skala nasional oleh Menteri Sosial. Selain izin, penyelenggara
penggalangan dana wajib memiliki rekening khusus, membuat laporan
pertanggungjawaban penggunaan dana, serta bersedia diaudit. Aturan teknis
terbaru tertuang dalam Peraturan Menteri Sosial No. 8 Tahun 2024, yang
menegaskan semua bentuk penggalangan dana – termasuk via platform digital
– wajib mengikuti ketentuan izin dan pelaporan tersebut.
Pada
kondisi 60 tahun yang lalu tentu hal ini perlu dilakukanm namun jika diterapkan
pada situasi saat ini tentu akan menganggu tujuan dari pengumpulan dana
tersebut. Era 60 -an pemerintah orde lama mengatur sumbangan tersebut adanya
kekhawatiran penyimpangan dan sedikitnya Lembaga resmi Lembaga filantropi di
tahun 60 an. Jika dibandingkan dengan kondisi saat ini, tentu ekosistem
filantropi jauh berkembang, adanya ratusan Lembaga filantropi, platform crowdfunding
seperti kitabisa, komunitas lokal,
hingga adanya Key Opinion Leader (Publik figur) yang memiliki pengaruh
belum lagi adanya blockchain yang bisa dimanfaatkan dengan lebih baik. Aturan
kuno perlu disesuaikan dengan perkembangan zaman. Jika kita cek lebih dalam
lagi aturan ini semakin tidak relevan ketika berbicara tentang sanksi dalam UU
tersebut terlalu ringan berupa teguran dan hal ini membuat aturan ini tdak
efektif mencegah penyelewengan pada masa
kini, perlu ada penjelasan ulang tentang tata cara izin dan juga sanksi. Jangan
sampai niat baik menjadi salah, esensi bahwa kehadiran negara seharusnya memastikan dana sumbangan tidak disalahkan
bukan menjadi penghambat.
Kritik terhadap regulasi usang ini mengemuka terutama ketika birokrasi dianggap menghalangi sense of urgency penanganan bencana. Bagaimana caranya dalam situasi darurat harus melakukan izin terlebih zin memerlukan waktu, dan bantuan harus segera dilakukan dengan penggalangan dana secepat mungkin. Ditambah lagi belum banyak yang tahu adanya aturan dalam pengumpulan uang dan barang. Hal ini tentu menjadi celah disatu sisi orang bisa melanggar hukum tanpa sengaja; di sisi lain, bisa dimanfaatkan oleh oknum jahat untuk melakukan penipuan melalui donasi. Banyak kasus-kasus tentang pengggalangan dana secara liar tanpa izin di lapangan walaupun selama ini bisa diselesaikan secara persuasif. Belajar dari kasus yang ada, pemerintah harusnya proaktif memperbarui aturan yang jelas, adil, dan mengakomodasi partisipasi publik dalam melakukan aksi filantropi atau penggalangan dana. Pernah muncul kasus-kasus aparat mempermasalahkan penggalangan dana “liar” tanpa izin di lapangan, meski akhirnya banyak yang diselesaikan secara persuasif. Belajar dari pengalaman, pemerintah seharusnya proaktif memperbarui regulasi agar jelas, adil, dan mengakomodasi partisipasi publik yang masif dalam filantropi, dan ini adalah momentum untuk memperbaiki aturan yang sudah usang.
Transparansi
Wajib, Namun Jangan Halangi Niat Baik
Di
satu sisi, pemerintah benar: akuntabilitas dana publik mutlak diperlukan.
Banyak sekali kejadian ketika kedermawanan masyarakat disalahgunakan oleh pihak
yang tidak bertanggung jawab. Beberapa
tahun lalu kasus pengelolaan donasi yang membuat kita shock -kasus Aksi Cepat
tanggap (ACT) yang menjadi pukulan telak dunia filantropi ketika dan menjadi
alarm bahwa uang sumbangan bisa disalahhgunakan jika pengawasan yang lemah.
Belum lagi penipuan donasi digital oleh
perorangan yang mencapai miliaran juga disalah gunakan namun pemerintah tidak
bisa menindak secara serius karena keterbatasan dari UU dari filantropi itu
sendiri.
Bahkan
fenomena mencengankan penggalangan dana menjadi profesi seperti yang ada di
tiktok pemberian gift (hadiah) atas nama empati dan kasihan kepada orang
tersebut. Maka dari itu mitigasi terhadap modus-modus ini harus dilakukan.
Perlu adanya ketegasan pemerintah sebagai pemangku kebijakan untuk memastikan
potensi filantropi yang ada di Indonesia ini bisa tepat sasaran dan sesuai
dengan tujuan yang diinginkan.
Tapi
memang yang harus menjadi perhatian transparansi berbeda dengan birokratisasi
berlebihan. Kekhawatiran kita akan penipuan jangan sampai membuat inisiatif
masyarakat dalam mengumpulkan donasi dicurigai dan diatur dengan aturan yang
kaku. Pemerintah seharusnya mengawal, bukan menghalangi. Adanya kepekaan publik
atau masyarakat dalam urun dana justru karena merasa respon pemerintah belum
maksimal atau memerlukan dukungan tambahan. Coba kita di media sosial begitu
banyak komentar sinis netizen ditambah adanya anggota DPR RI Endipat yang
memberikan komentar perlu publikasi bantuan dari pemerintah. Sebenarnya tidak
ada yang salah akan hal itu namun masyarakat terlanjur kecewa karena menganggap
pemerintah tidak sigap dan tanggap dalam bencana ditambah lagi gorengan isu
bencana nasional yang tidak di tetapkan oleh pemerintah pusat. Disinilah sekalo
lagi pemerintah perlu instropeksi; pastikan penanganan bencana optimal sehingga
ajakan donasi dari pihak luar bersifat pelengkap, bukan utama. Kenyataannya, di
lapangan bantuan pemerintah punya keterbatasan – anggaran, akses, maupun
birokrasi – sehingga kontribusi masyarakat sipil justru sangat membantu.
Daripada memandangnya secara formalistik semata, lebih baik merangkul energi
solidaritas ini ke dalam sistem penanggulangan bencana nasional.
pemerintah dan masyarakat seharusnya berada di kubu yang sama dalam menghadapi bencana: keduanya punya tujuan mulia membantu korban. Regulasi semestinya menjadi jalur yang menghubungkan keduanya, bukan tembok penghalang. Niat baik perlu diarahkan, bukan dipadamkan.
Mengubah
Bencana Jadi Momentum Perbaikan
Bencana di Sumatera ini menjadi ujian pertama pemerintah Prabowo. Ujian ini tentu menjadi momentum memperbaiki kebijakan. Dalam kasus banjir ini kita melihat dua hal Dimana solidaritas publik yang luar biasa bantu bahu membahu namun kerangka regulasi yang tertinggal. Pemerintah seperti tertatih dalam mengatasi bencana yang tidak pernah tahu kapan datangnya tugas kita hanya menyiapkan diri. Kritik masyarakat pemerintah dalam menangani bencana hendaknya disikapi secara konstuktif. Mulai dari memperbarui regulasi agar selaras dengan era digital dan budaya tolong -menolong masyarakat yang semakin kuat. Membangun persepsi masyarakat untuk terus membantu sesame secara bertanggung jawab, mengikuti prosedur pelaporan demi kebaikan bersama.
Akhirnya,
filantropi dan pemerintah bukanlah dua kutub berseberangan, melainkan
partner dalam kemanusiaan. Pemerintah harus menyadari nilai luar biasa dari
partisipasi warga, dan warga pun harus menghargai pentingnya keteraturan dan
transparansi. Ketika keduanya berjalan beriringan, bantuan akan lebih efektif
sampai ke tujuan. Sudah saatnya UU Pengumpulan Uang atau Barang dari tahun 1961
itu diperbarui dan disesuaikan dengan semangat zaman sekarang. Dengan regulasi
baru yang pro-akuntabilitas sekaligus pro-partisipasi, kita tidak hanya
menambal masalah birokrasi, tapi juga memperkuat fondasi kepercayaan publik.
Momentum
kepedulian untuk Aceh, Sumbar, dan Sumut ini jangan diredam – justru harus
dijaga apinya. Biarlah kebaikan hati masyarakat terus mengalir deras,
difasilitasi aturan yang bijak. Dari setiap bencana, kita belajar memperbaiki
diri. Semoga ke depan, filantropi dalam bencana dapat tumbuh subur tanpa
dihantui regulasi usang, melainkan dibimbing regulasi yang update dan
berperspektif kemanusiaan. Solidaritas yes, penyelewengan no – itulah arah
pembenahan filantropi bencana yang mesti kita tuju.


0 Komentar